Senin, 29 Juni 2009

 Pisau dari Tokyo 

SEBILAH pisau? O, besar sekali dan panjangnya sekitar 30 cm! Ya, ya, malam itu kulihat sebilah pisau besar, bentuknya cukup aneh, paduan antara golok dan celurit. Jelasnya begini: gagangnya terbuat dari kayu eboni, pangkal mata pisau berbentuk mirip golok Betawi, tetapi ujungnya seperti celurit Madura. Penampilannya berkilat-kilat, pancaran ketajamannya.Ini pisau dari Tokyo. Pisau kesayangan Taro, ya, suamiku. Maksudku, Taro gemar memasak dan pisau ini alat utamanya untuk memasak. Lebih baik Taro tidak memasak, bila pisau ini terselip atau sedang tidak ada di dapur...." 

"O, tapi... ee... pisau itu menakutkan. Eee... maksudku, terlalu besar dan terlalu tajam sebagai pisau dapur. Lebih cocok digunakan di rumah jagal saja," selaku, sebelum penjelasan pisau dari Tokyo itu selesai. 

Yang menjelaskan mengenai pisau dari Tokyo itu adalah Naomi Nerusa, share-mate-ku (teman serumahku), ketika aku belajar di Benua Kangguru. Ya, aku dan Naomi menyewa rumah secara patungan, untuk kami tempati bersama selama dua tahun. Aku mengenal Naomi ketika kami sama-sama tinggal di apartemen kampus yang sewanya relatif mahal. Maka, aku dan Naomi lalu mencari rumah yang sewanya lebih murah daripada apartemen kampus tersebut. Aku memilih Naomi sebagai share-mate-ku karena dia kunilai cukup komunikatif, lincah, dan pernah berkunjung ke Jakarta, Yogya, dan Bali. Sehingga kalau kuajak bicara mengenai ketiga tempat itu bisa nyambung. Oya, Naomi juga suka masakan Indonesia, khususnya sate ayam Madura. 

Malam itu, aku dan Naomi siap membuat sate ayam Madura untuk makan malam kami. Maka ia mengeluarkan pisau dari Tokyo, untuk memotong-motong daging ayam yang akan kami buat sate. 

"Nah, you saja yang memotong-motong daging ini, aku yang mengupas rempah-rempahnya. Oke?" kata Naomi, ketika aku mengambil pisau kecil untuk mengupas bawang merah untuk lalap. 

"Lho kok aku yang mesti memotong-motong daging, memangnya kenapa?" tanyaku heran, karena kulihat tiba-tiba wajah Naomi yang semula ceria berubah menjadi kecut mengkerut. 

"Eee... aku takut sama pisau itu. Sejak pertama kali melihatnya, aku memang takut. Heehhhh... maafkan aku!" mata Naomi memejam, lalu membalikkan diri ke arah lain, memunggungi pisau yang berkilauan itu. 

"Naaah... kalau kau takut, mengapa pisau itu kau keluarkan?" tanyaku, sambil mengikuti arah muka Naomi. 

"Kupikir kita perlu pisau tajam untuk memotong-motong daging ayam. Tapi, eee... maaf," tiba-tiba ia tertawa, tetapi tawanya sumbang. 

"Lho... kok tertawa. Katamu.... kau takut, tapi tertawa!" aku ikut tertawa, karena melihat mimik Naomi yang lucu: diliputi rasa takut, tetapi berusaha sok kalem. 

"Ya, aku tertawa karena ingat sejarah pisau itu," Naomi masih tertawa, "Lucu, kisahnya! Ya, lucu-lucu seram," sambungnya, sambil membalikkan tubuhnya dan menunjuk pisau yang katanya ditakutinya. 

"Lucu, kisahnya. Lucu-lucu seram, bagaimana itu?" aku penasaran. 

"Pisau itu, pemberian Paman Tsuda-pamannya Taro," Naomi mulai bercerita, "Kedua orangtua Taro meninggal ketika Taro masih kecil. Maka, ia lalu diasuh Paman Tsuda. Nah, Paman Tsuda itu pembuat pisau ulung di desanya, di pinggiran Tokyo. Taro juga dilatih membuat pisau. Tetapi, ketika lulus SMP ia tidak berminat melanjutkan usaha pamannya memproduksi pisau. Ia tertarik bidang elektronik dan pamannya merestui. Maka, ketika aku berkenalan dengan Taro, ia telah bekerja di perusahaan elektronik di Tokyo. Kami pacaran tiga bulan, lalu menikah...." 

"Apa hubungannya ceritamu dengan pisau dari Tokyo ini?" selaku tak sabar karena cerita Naomi kuanggap berbelit-belit. 

"Nanti dulu. Ceritaku belum sampai ke pisau...," Naomi memintaku bersabar. 

"Okay. Lalu, bagaimana?" desakku. 

"Nah, setelah aku jadi istri Taro, aku tinggal bersama Paman Tsuda. Waktu aku akan berangkat ke Australia-ya, untuk belajar yang sekarang sedang saya jalani ini, Paman Tsuda menyuruhku membawa pisau ini. Aku menolak, karena aku merasa tidak memerlukannya. Yang memerlukan pisau itu Taro, karena Taro selalu menggunakannya untuk memotong bahan makanan yang dimasaknya. Tapi, Paman Tsuda mendesakku. Katanya, pisau itu bisa kujadikan senjata...." 

"Kau jadikan senjata? Senjata untuk apa?" aku terheran-heran. 

"Ini dia yang lucu. Tapi, lucu yang sekaligus seram," Naomi menggeleng-geleng, "E... sungguh menyeramkan. Kata Paman Tsuda, pisau ini bisa kugunakan untuk membunuh Taro, kalau Taro menyeleweng...." 

"Heehhh... menyeleweng? Selingkuh maksudmu?" tegasku. 

"Ya, kalau Taro punya love affair dengan perempuan ketiga...," jelas Naomi. 

"Apa Taro... ee... maaf, suamimu itu suka selingkuh atau semacam itu?" aku ingin tahu. "Kok sampai pamannya bilang begitu..." 

"No, no... Taro bukan laki-laki tipe itu. Dia laki-laki yang baik dan aku tahu, dia sangat mencintaiku, suka membangga-banggakanku...." 

"Ya, ya, jelas, karena kau cantik dan pintar...," komentarku. 

"Ya, mungkin," Naomi mengerlingkan matanya dan ada bias-bias kebanggaan terpancar dari mata itu. "Sayangnya, ia sering memukul dan menggigitku bila ia berhubungan intim denganku...! Ya, dia punya kelainan. Itu, yang kubenci... itu yang kutakuti. Maka, sering terlintas dalam benakku, aku ingin meninggalkannya untuk mencari kelembutan dan belaian dari laki-laki lain. Atau, paling tidak ...jauh darinya, agar aku bebas dari...." matanya yang semula berbinar-binar itu lalu meredup dan suaranya serak. 

"Ohhh, Naomi!" desisku dengan bingung, karena aku tidak tahu harus berbicara apa untuk menanggapi penuturannya itu. 

"Maka, aku senang, ketika Taro mengirimku belajar kemari ya... di Australia ini. Jadi, aku bebas dari pukulan-pukulannya dan gigitan mautnya. Gila! Kalau dalam seminggu ia mengajakku berhubungan intim dua atau sampai tiga kali, maka tubuhku hancur, babak belur. Pangkal pahaku, perutku, leherku, dan payudaraku akan biru-biru lebam. Aku biasanya jadi malas keluar rumah, Selain sakit, aku juga malu karena jalanku jadi engkang-engkang-jelek. Belum lagi leherku yang penuh bekas gigitannya, payudaraku juga nyeri, apalagi lubang vaginaku... seperti disodok-sodok tombak!" Naomi meringis. 

"Sampai begitu? Ohhh... Naomi!" aku mendesis lagi dan jadi ngeri membayangkan kelainan Taro, suami Naomi. 

"Makanya, aku sebetulnya tidak happy, kalau suamiku nyusul aku kemari," suara Naomi tiba-tiba merendah, seperti berbisik. 

"Lho, tapi, bukankah suamimu telah memutuskan akan menyusulmu kemari? Bahkan kau bilang, dia mau melamar jadi PiAr- permanent resident di sini, bukan?" aku mengingatkan apa yang pernah diceritakan Naomi kepadaku, sebelum ia jadi share-mate-ku. 

"Ya, mau dia memang begitu. Dia ingin tinggal di Australia, karena ingin menginjak tanah. Maksudku, ia ingin tinggal di rumah besar, berhalaman luas dan bisa mengendarai mobil pribadi. Maklum, hidup di Tokyo menginjak tanah adalah barang luks. Maksudku, hidup di Tokyo tidak mungkin tinggal di rumah besar, berhalaman luas dan bisa mengendarai mobil pribadi. Biaya hidup di Tokyo sangat mahal. Yang bisa kami bayar hanyalah tinggal di apartemen ukuran 3 x 3 meter, untuk keperluan segalanya. Kalau punya mobil harus menyewa garasi yang sewanya sama dengan untuk menyewa apartemen...," Naomi memandangiku, sebagai penegasan, "Makanya, bagi Taro, tinggal di Australia adalah impiannya dan itu harus diwujudkannya!" 

"Jadi, kapan dia kemari?" aku ingin tahu. 

"Ya, tiga bulan lagi, setelah ia menjual barang-barang kami dan mengurus surat-surat pindah. Aku dan Taro akan memulai hidup baru di sini...." 

"Oh... indah sekali. Kalian bakal menemukan surga di Australia. Orang Jepang uangnya banyak. Kulihat, banyak orang Jepang yang membeli rumah dan mobil-mobil mewah di sini...." 

"O... tidak semua orang Jepang begitu," Naomi cepat-cepat meralat kalimatku. "Walau Taro sudah manager, tetapi gajinya tidak besar. Jadi, ya... kalau cuma membeli rumah keong dan mobil seconds mungkin bisa...," Naomi merendah. 

"Apalagi kalau kau sudah kerja di sini," seruku, karena kuliah Naomi, yang ambil Master Fakultas IT akan selesai tahun depan. "Master lulusan IT banyak diperlukan di Australia." 

"Mudah-mudahan," mata Naomi sedikit berbinar. "Yuk, sekarang kita bikin sate ayam. You yang memotong-motong dagingnya!" sambung Naomi. 

Aku pun lalu menggunakan pisau dari Tokyo untuk memotong-motong daging ayam yang akan kami buat sate. Bukan main, pisaunya tajam sekali. Maka, Naomi lalu memperingatkanku agar aku berhati-hati ketika menggunakannya, agar tanganku tidak teriris olehnya. 



TARO sudah datang dari Tokyo dan tinggal bersama kami. Benar kata Naomi, Taro memang gemar memasak dan selalu menggunakan pisau dari Tokyo, untuk memotong bahan-bahan yang dimasaknya. Sungguh terampil tangannya ketika menggunakan pisau itu, saat memotong apa saja: dari bawang putih, seledri, daun bawang, hingga ikan dan daging yang diolahnya. Aku sering menyaksikannya bila ia masak untuk makan malam mereka dan kadang aku diberinya. Karena, aku juga sering memberi mereka apa yang kumasak pada pagi hari. Sejak ada Taro, aku memang sering tukar-menukar makanan. Sebelum Taro datang, Noami sering minta tolong aku untuk memasak. Naomi memang tidak suka memasak! Jadi, kalau ia memasak, artinya terpaksa! 

Sejak Taro di Australia, Naomi tidak pernah ke dapur. Jadi, pisau dari Tokyo itu sama sekali tidak dipegangnya. Aku juga tidak memegangnya, karena aku lebih suka menggunakan pisauku yang kubawa dari Jakarta, untuk mengupas bumbu-bumbu atau memotong bahan-bahan yang kumasak. Taro selalu mendesakku agar aku menggunakan pisau dari Tokyo, dengan alasan, lebih tajam dari pisauku. Bahkan suatu pagi Taro bilang padaku, "Bila aku berpisah denganmu, pisau ini akan kuberikan padamu, untuk kenang-kenangan." 

Aku tertawa mendengar apa yang dikatakan Taro. Di balik tawaku, sebetulnya aku ngeri dan kemudian berkata, "Taro, apa indahnya kenang-kenangan sebilah pisau... pisau yang sangat tajam dan bentuknya aneh. Terus terang, aku takut pada pisau itu! Naomi juga takut." 

"Ah, jangan takut. Pisau ini jadi menakutkan bila digunakan untuk membunuh. Bila digunakan untuk tujuan positif seperti untuk memotong-motong bahan yang akan kita masak atau berkebun, membabat ilalang dan rumput ya tidak apa-apa...," sahut Taro dengan sikap tenang. 

Bersikap tenang, adalah pembawaan Taro yang paling menonjol. Maka, aku jadi heran dan bertanya-tanya: apakah mungkin laki-laki berpembawaan setenang Taro punya kelainan buas, suka memukul dan menggigit pasangannya, ketika melakukan hubungan seksual seperti yang diceritakan Naomi? Kupandangi Taro, yang malam itu sedang duduk sendirian di ruang makan, sambil memandangi sajian masakan yang telah dimasaknya sejak sore, untuk makan malamnya bersama Naomi. Jam telah menunjukkan pukul 21.30. 

"Taro, Naomi belum pulang?" tanyaku, merasa kasihan pada Taro yang kuhitung hampir dua minggu selalu menanti kedatangan Naomi yang terlambat. 

"Ya, Naomi belum pulang. Akhir-akhir ini ia selalu pulang terlambat...," sahut Taro, suaranya berat dan patah-patah. 

Aku tahu, ia ingin mengeluh kepadaku, tetapi ditahannya. Maka ia lalu kuhibur sebisaku, "Taro, mungkin Naomi masih belajar di perpustakaan. Atau, barangkali ada meeting-kerja grup. Maklum, student IT memang banyak tugas, bikin program yang aneh-aneh dan rumit...." 

"Ya, barangkali," Taro memandangiku dengan mata kosong. "Tapi, apakah sistem belajar di Australia harus sampai larut begini? Lebih dari pukul sembilan malam belum selesai?" 

"Tergantung fakultasnya, Taro. Kalau aku, yang ambil ilmu sosial ya... tidak sampai malam kalau belajar bersama. Tapi, kami dituntut banyak membaca. Aku lebih senang membaca di rumah daripada di perpustakaan," tuturku. 

"Ya, kupikir, merancang program juga bisa di rumah. Aku kan juga pernah belajar komputer-IT. Memang sih... otodidak...! Tapi, kupikir, Naomi tidak perlu sampai pulang terlambat terus. Iya, kan, begitu?" 

Aku diam saja. Aku tidak ingin masuk ke dalam lingkar masalah yang sedang dihadapi Taro yang tampak unhappy karena istrinya, ya... Naomi, selalu pulang terlambat. Hari berikutnya, Naomi pulang terlambat lagi. Terus, terlambat lagi. Begitu, hingga pada suatu senja aku melihat Naomi bergandeng tangan mesra dengan student dari Kolombia, teman sekelasnya. Setahuku, di kampus, student Kolombia itu dipanggil: Banderas! Padahal, nama sebenarnya Ferdinand. Ia dipanggil Banderas karena wajah dan tubuhnya memang mirip Antonio Banderas-aktor Hollywood asal Spanyol, yang pernah dinobatkan oleh sebuah majalah wanita terbitan Amerika, sebagai salah satu pria terseksi di dunia. Maka dapat dibayangkan, betapa tampannya Ferdinand, yang menggandeng Naomi. Taro yang tingginya kuperkirakan tidak sampai 160 cm, tentu bukan bandingan Ferdinand. 

Diam-diam kuikuti arah jalan Naomi dan Banderas. Mereka dari perpustakaan menuju ke utara, ke apartemen kampus Blok A. Aku jadi ingat, Ferdinand memang tinggal di Blok A, lantai 6-yang dikenal sebagai markas student dari Kolombia. 

Kuperhatikan, Naomi dan Ferdinand naik lift. Pikirku, jadi selama ini, Naomi selalu pulang malam karena bersama Banderas? Aku lalu ke perpustakaan, ada meeting, dan pulang ke rumah pukul 21.00. Sampai di rumah, kulihat Taro sedang memasak dengan wajah murung. Padahal biasanya, kalau memasak pukul 18.00 dan wajahnya ceria. Meskipun demikian, ia berusaha tersenyum semanis mungkin begitu melihatku masuk ke rumah. Seperti biasanya, ia menanyakan keadaanku. Seperti biasanya juga, aku menjawab: fine, thank you! 

"Ohhh... very good! Very good!" Taro menanggapiku, lalu menghentikan langkahku yang mau naik ke loteng, menuju ke kamarku. "Jangan masuk ke kamar dulu. Aku mengundangmu makan malam. Aku buat sushi dan sup sirip ikan...," kata Taro, "Itu, mangkuk dan piringmu sudah kusiapkan," sambungnya, sambil menunjuk dua set piring dan mangkuk di atas meja makan. 

"Naomi belum pulang?" tanyaku kemudian, sambil berusaha keras mengerem diri untuk tidak menceritakan Naomi yang kulihat bergandengan tangan bersama Ferdinand alias Benderas. Lalu, Naomi ke Blok A, ke kamar Ferdinand. Bisa ditebak, apa yang mereka lakukan berdua di kamar? Kusingkirkan pikiran keruhku mengenai Naomi-Ferdinand. Perhatianku kufokuskan kepada Taro yang mengajakku bicara mengenai Naomi. 

Ia berkata, "Malam ini Naomi tidak pulang. Dan, ia memang tidak pernah akan pulang lagi di rumah ini. Dia pulang ke tempat lain bersama kekasihnya...!" sahut Taro, nadanya tenang, tapi membuatku terkejut. 

"Apa maksudmu, Naomi pulang ke tempat lain bersama kekasihnya, Taro?" tanyaku spontan. 

Taro tidak menjawab. Tapi, ia memperlihatkan pisau dari Tokyo yang berlumuran darah yang mulai mengering dan beratus-ratus helai rambut menempel di permukaannya. Aku mengenali rambut itu, rambut Naomi. Ohhh...! Tubuhku langsung gemetar dan butir-butir keringat dingin bermunculan di keningku. Sebilah pisau dari Tokyo yang ada di tangan Taro itu di mataku tampak menyeringai dipenuhi ribuan pasang taring Rahwana yang tengah mencabik-cabik leher Naomi yang kuning mulus dan jenjang. Lalu, darah segar pun mengalir deras dari leher Naomi yang terkoyak-koyak dan terpatah itu.... 

"Mari, makan malam bersamaku, sebelum polisi menangkapku. Atau, sebelum aku menyerahkan diri ke polisi...," kudengar lamat-lamat suara Taro mengajakku makan, dengan suara tenang. 

Aku tidak mau dan memang tidak bisa memenuhi ajakannya, karena kepalaku tiba-tiba pusing, perutku mual, mataku berkunang-kunang, lalu lupa segalanya, kecuali kilatan pisau itu: sebilah pisau dari Tokyo. Pisau jagal...! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar