Senin, 29 Juni 2009

  Di perkebunan

Traktor roda ban (TRB) yang dikemudikan Siman terjungkir karena roda belakangnya terperosok ke dalam lubang eks-Ganoderma. Ia tertindih di bawah traktor dan tewas. Kabar tentang kecelakaan itu segera menyebar ke seluruh daerah perkebunan karena sebelumnya peristiwa seperti itu tidak pernah terjadi. Sariga, yang pertama kali mendapat peluang sebagai kontraktor pengolahan lahan tanaman ulang di perkebunan kelapa sawit itu, terperanjat. Kerja di perkebunan tidak seharusnya berakibat sejauh itu. Yang harus dilakukan hanyalah mencangkul dan membalik tanah dengan kedalaman 25 cm. Pencangkulan dilakukan secara mekanis, menggunakan bajak cakram berukuran lebih kurang 30 inci, ditarik traktor roda ban. Selain dengan traktor, pencangkulan juga dapat dilakukan dengan traktor roda rantai (TRR). Seandainya Siman tidak buru-buru mengejar target, pastilah ia melihat lubang eks-Ganoderma yang panjang, lebar, dan dalamnya masig-masing 1 meter itu, dan pasti ia akan mengelak. Tapi takdir ternyata menentukan lain. Kematian Siman sangat mengejutkan Sariga karena tahun lalu, ketika ia menyuplai beberapa kebutuhan kecil perkebunan itu, Siman bekerja di perusahaannya sebagai pengantar barag-barang kebutuhan tersebut. Artinya, Siman belum setahun jadi operator TRB. Bisa saja kecelakaan itu terjadi karena kurangnya pengalaman Siman sebagai operator. * * * Kasus tewasnya Siman semula menjadi berita kecil di suratkabar lokal. Kemudian muncul surat pembaca yang prihatin akan keselamatan pekerja. Ia mempertanyakan dalam kasus seperti itu siapa yang bertanggungjawab. Perkebunan? Pemilik alat-alat berat? Atau, kontraktor penyewa alat-alat berat? Surat pembaca lain menyusul. Ia menempatkan perkebunan pada posisi yang paling bertanggungjawab. Alasannya sederhana saja. Mengapa lubang eks-Ganoderma telah digali, sedangkan lazimnya penggalian itu dilakukan pada saat pohon-pohon sawit tua ditumbangkan? Surat pembaca ini bersambut dengan cepat. Gabungan Pengusaha Lokal (GPL) akan meninjau lokasi kecelakaan dan akan menarik kesimpulan siapa yang bertanggungjawab. Setelah kunjungan ke tempat kecelakaan, GPL sependapat dengan penulis surat pembaca kedua. Bahkan, GPL tidak berhenti di sana. Kecurangan tender mulai diungkapkan. Suratkabar lokal, banjir dengan berita-berita tudingan yang diarahkan ke perkebunan. Orang pertama perkebunan sebagai pimpinan baru di sana menjadi sasaran empuk GPL. Direktur Utama ini segera mengadakan rapat direksi. Mengapa sampai ribut-ribut ini terjadi? "Dua orang anggota pengurus GPL tahun ini tidak memenangkan tender," sahut Direktur Produksi. "Apa benar tender tidak dilakukan menurut prosedur?" tanya Direktur utama. "Semua dilaksanakan menurut ketentuan yang berlaku," Direktur Produksi menjelaskan lagi. Dalam rapat yang berlangsung satu jam itu, masukan-masukan berharga banyak diberikan bawahannya kepada Orang Pertama di perkebunan ini. Kalau hanya anggota biasa GPL yang tidak mendapat proyek, para pengurusnya tidak pernah meneriakkan apa pun. Tapi, kalau anggota pengurus yang tidak kebagian jatah tahunan, mereka akan berteriak hingga ke ujung langit. Padahal mereka masih tetap mendapat jatah di bagian pengadaan dan teknik, walaupun volume kerjanya kecil. "Mengapa tahun ini mereka tidak berhasil memenangkan tender pengolahan lahan tanaman ulang?" Orang Pertama mencoba mencecar. "Karena hasil kerja mereka tahun lalu di bawah standar," sahut Direktur Produksi spontan dan meyakinkan. Tentu saja para direktur dalam rapat tidak menjelaskan kepada Orang Pertama yang baru ini bahwa jatah pengolahan lahan tanaman ulang tersebut hanya diberikan kepada beberapa pengusaha yang sama setiap tahun. Khususnya untuk lahan-lahan luas berukuran antara 500 hektar hingga 2500 hektar. Agar tidak terlalu mencolok, lahan terkecil dengan luas 200 hektar diberikan bergantian kepada beberapa kontraktor lain, termasuk pengurus GPL. Rasa tenteram Orang Pertama perkebunan itu membersit jelas di wajahnya, setelah semua bawahannya meyakinkan bahwa ribut-ribut di luar itu tidak perlu ditanggapi karena nanti toh akan padam sendiri. Ini bukan peristiwa pertama. Tak ada yang perlu dikhawatirkan, karena selama ini pun tidak pernah ada teguran dari kantor pusat. Para bawahan ini juga tidak mengungkapkan bahwa biasanya gangguan akan muncul pihak perkebunan tidak memberikan tanggapan atas berita-berita yang beredar luas itu. Drum-drum minyak solar yang di drop di gudang penyimpanan BBM (bahan bakar minyak) tidak jarang tiba-tiba bocor dan kosong.Ban TRB juga tidak jarang menjadi sarang pemboocoran. Pemuda-pemuda tak dikenal sering pamer kekuatan dan meminta operator TRB, TRR atau petugas lapangan lainnya untuk berhenti bekerja satu dua jam, agar target yang mereka kejar tidak tercapai. Tidak jarang pula mereka memeras operator alat-alat berat itu, bahkan buruh-buruh kecil penanam kacangan. Orang Pertama menutup rapat dengan rasa puas. Memperoleh order karena memenangkan tender besar atau memenangkan persaingan menghadapi dua rekanan lain tanpa melalui tender untuk mendapatkan order-order kecil di perkebunan ini tidaklah mudah. Karena itu, seperti juga pemborong lainnya, Sariga yang mendaftarkan diri menjadi rekanan untuk semua jenis pekerjaan: pengadaan barang, teknik, dan pengolahan lahan tanaman ulang, selalu harus gigit jari. Penanaman kelapa sawit muda dilakukan pihak perkebunan setiap tahun untuk menggantikan pohon-pohon yang telah berusia antara 25-30 tahun. Kontraktor hanya mengolah tanah, merobohkan tanaman tua, meratakan dan menghaluskan tanah, serta menanam rumput kacangan. Karena itu di kalangan pemborong, sebutan yang sering terdengar untuk tugas ini adalah land clearing. Dengan adanya sekitar 200 perusahaan yang menjadi rekanan di perkebunan itu diperlukan perjuangan berat untuk mendapatkan order. Untuk itu Sariga harus rajin berkunjung ke berbagai lokasi perkebunan menemui para administratur dan "menjalin hubungan baik". Relasi dengan para kepala bagian di kantor perkebunan juga harus dipelihara setiap saat. Bahkan, koneksi dengan pegawai staf dan nonstaf di tingkat bawah pun harus dipupuk terus menerus. Terkadang Sariga merasa dirinya sebagai pengemis yang meminta ke sana kemari, walaupun hanya untuk mendapatkan order kecil. Melelahkan, sekaligus menyebalkan. Apalagi bila kepala bagian yang merekomendasikan order tersebut ke direktur meminta servis makhluk hidup yang bernama manusia sebagai teman kencan. Perasaan berdosa terpaksa dibuang Sariga jauh-jauh untuk mendapatkan order yang diinginkannya itu. Tapi, kali ini ia mendapatkan kepercayaan untuk melaksanakan proyek pengolahan lahan itu bukanlah karena kerja keras. Tokoh yang baru ditunjuk untuk menjadi Orang Pertama di perkebunan itu adalah sahabat almarhum ayahnya. Begitu Sariga menemuinya, Orang Pertama itu segera menunjuk Sariga sebagai salah satu pemborong melalui tender yang diadakan setiap bulan Desember. Tender di perkebunan ini, sebagaimana lazimnya pada banyak tender yang lain, dilakukan hanya sebagai proforma untuk memenuhi persyaratan. Pengumuman tender pun hanya dilakukan di sebuah suratkabar kecil dan dicetak khusus limapuluh lembar dalam penerbitan pura-pura. Artinya, khusus untuk tender tersebut, suratkabar dicetak ulang limapuluh lember dengan mencantumkan pengumuman tentang tender itu. Suratkabar puluhan lembar itu tidak diedarkan ke pasar. Ini hanya diperlukan sebagai bukti dan disimpan dalam berkas bahwa prosedur tender telah dilakukan dengan benar. Sebagai pemborong yang pertama kali mengerjakan proyek pengolahan lahan, menumbangkan pohon, meratakan dan menghaluskan tanah, serta menanam kacangan, Sariga terpaksa bekerja sama dengan seorang kontraktor yang pernah mengerjakan tugas itu. Lahan pohon kelapa sawit tua seluas 200 hektar itu mereka garap bersama sepuluh bulan. * * * Istri Siman yang datang mendadak ke rumah Sariga memohon dengan memelas. "Tolonglah, Pak. Saya bersedia bekerja di bagian mana saja. Mengantar barang-barang juga boleh." Sariga menatapnya. "Saya masih berusaha mendapatkan order-order kecil, tapi belum dapat, Bu. Servis mesin, baru dilakukan tiga bulan lagi. Itu pun kalau saya bisa mendapatkannya. Penggantian ban truk, baru bulan depan. Pak Kepala Bagian Pengadaan telah berjanji akan memesan 30 ban dari saya, dari 180 ban yang dibutuhkan. Sekarang ini saya baru mengolah tanah bersama Pak Gurning." "Di situ juga boleh, Pak." "Kerja sekarang masih kerja traktor, Bu. Setelah itu baru menumbang pohon dengan mesin. Menanam kacangan baru dilakukan setelah pekerjaan tahap dua beres, atau sekitar enam bulan lagi. Untuk menanam kacangan itu saya pasti akan mempekerjakan Ibu." Istri Siman tidak asing lagi dengan tahapan kerja yang disebutkan Sariga, karena ia telah bekerja lebih dari 30 tahun di perkebunan itu. Yang ia tidak mengerti adalah mengapa santunan yang diterimanya karena kematian Siman sangat kecil dan hanya cukup untuk biaya hidup dua bulan, termasuk biaya sekolah anak-anaknya. Setelah pamitan dengan hormat, ia melangkah gontai meninggalkan halaman rumah Sariga. Kontraktor kecil itu menatapnya dengan rasa sedih yang menggumpal. Ia tiba-tiba terkenang akan almarhumah ibunya, yang dulu terpaksa berjalan kaki berkilo-kilometer, menjajakan kain angsuran dan berutang ke sana kemari untuk membiayai anak-anaknya. Wajah istri Siman, yang memelas ketika menemuinya dan saat meninggalkan rumahnya, meledakkan teriak dalam dirinya. "Aku berani menghamburkan dua juta rupiah untuk memperbaiki mobil kepala bagian teknik dengan begitu mudah, tapi membiarkan ibu tiga anak itu pulang dengan tangan hampa." * * * "Wah, saya disindir Kepala Bagian Teknik," ujar Kepala Bagian Tanaman kepada Sariga, yang melaporkan hasil kerja berkalanya kepada Kepala Bagian Tanaman. Sariga tidak mengerti maksud orang yang dihadapinya. "Soal perbaikan mobil dua juta itu," Kepala Bagian Tanaman melanjutkan. Sariga baru memahami yang dimaksudkan Kepala Bagian Tanaman. "Saya tidak bercerita kepada siapa pun," sahut Sariga membela diri. "Ya, mungkin orang bengkel yang tidak dapat menutup mulut mereka," Kepala Bagian Tanaman menenangkan Sariga. Setelah melaporkan hasil kerjanya, Sariga meninggalkan ruang kerja Kepala Bagian Tanaman. Dengan pasti ia melangkahkan kakinya menuju rumah Siman. Dengan sopan dan sangat bersifat kekeluargaan, ia meminta kepada istri Siman agar menolongnya. "Parto tidak pernah ke mana-mana setelah pulang sekolah," ujar istri Siman. "Saya melihat sendiri Parto dibonceng salah seorang pemuda brandal itu ketika memaksa operator alat-alat berat agar berhenti bekerja. Saya juga menyaksikan ketika Parto meminta duit kepada operator TRB saya." Istri Siman memandang tenang ke wajah Sariga. Kalau dulu ketika ia berkunjung ke rumah kontraktor muda ini ia menatap Sariga dengan wajah memelas, kini ia memandang lelaki itu dengan penuh percaya diri. "Walaupun kami orang miskin, janganlah menyepelekan kami seperti itu. Parto tidak pernah meninggalkan rumah sepulang sekolah. Kalau pun ia keluar rumah, ia hanya pergi ke rumah tetangga sebelah. Lima anak SMP berkumpul di sana untuk mendapat bimbingan pelajaran matematika dari Parto. Anak itu sekarang membantu saya mencari nafkah. Dengan jualan gado-gado dan pecal di depan rumah ini saja pendapatan tidak cukup." Sariga meninggalkan rumah Siman dengan perasaan tercabik-cabik. Kenapa ia percaya begitu saja kepada laporan yang diterimanya dari salah seorang karyawannya, dan kemudian berdusta kepada istri Siman dengan mengatakan menyaksikan Parto bersama brandal-brandal itu? Hati kecilnya membisikkan dan mengingatkan kepadanya bahwa ia benar-benar kehilangan Siman ketika lelaki itu meminta berhenti bekerja dan pindah ke tempat lain. Siman adalah pekerja yang tekun, jujur, dan selalu ringan tangan membantu siapa saja. Siman jugalah yang meyakinkan dirinya bahwa kekuatan uang dapat menaklukkan siapa saja. Siman dengan berani mengatakan seperti itu karena sebuah order yang telah menjadi milik Sariga tiba-tiba dibatalkan dan diberikan kepada orang lain tanpa sesuatu alasan. Sariga menghentikan langkahnya. Ia ingin berbalik, kembali menemui istri Siman dan meminta maaf. Tapi, rasa malu mencegahnya. Pada saat itu pula ia tertegun dan tidak percaya. Rasa malu yang telah begitu lama meninggalkan dirinya kini kembali merangkulnya. Lama ia berdiri di jalan itu tanpa tahu harus berbuat apa. Akhirnya keputusan itu diambilnya. Ia menunggu Parto di pinggir jalan itu. Begitu ia melihat Parto yang datang bersama teman-temannya sepulang dari sekolah, ia segera menghampiri. Ia memberi isyarat agar Parto datang kepadanya. Ketika remaja itu telah berdiri di depannya, ia tersenyum dan berkata, "Parto, kamu masih punya waktu mengajar matematika?" Parto hanya mengangguk kepalanya. Setelah itu Sariga merogoh sakunya, mengambil sejumlah uang lalu dimasukkan ke kantong celana Parto. "Saya teman almarhum ayahmu. Saya senang mendengar kamu bisa membantu ibumu mencari nafkah. Sekarang pulanglah, dan gunakan uang itu untuk keperluan sekolahmu, ya." Setelah mengucapkan terima kasih, Parto pun segera bergegas pergi dengan langkah yang enteng. Sariga juga berjalan pulang menuju rumahnya dengan sedikit lega. "Mudah-mudahan istri Siman memaafkanku," seru Sariga dalam hatinya. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar