Minggu, 28 Juni 2009

Haramkah Uang Rupiah Kita?
Jumat, 11 Apr 08 08:31 WIB
Kirim teman
Assalamualaikum wr wb.
Ustadz yang di rahmati Alloh, 
Dalam Al-quran dan Hadist banyak menyebut uang Dinar (emas) dan Dirham (perak). Apakah uang rupiah yang kita gunakan jual-beli sekarang dapat menggantikan fungsi dari Dinar dan Dirham?
Sepengetahuan saya uang rupiah terus menerus di cetak sehingga nilainya terhadap barang riil terus menurun dan tidak naik lagi.Contohnya harga kambing Zaman Rosulullah 1-2 Dinar emas sampai sekarang masih sama 1 Dinar emas = Rp1, 2 jt(kurs 10 April 2008). Sedangkan dalam rupiah 1972 = Rp8000 sekarang Rp1, 2 jt.
Ridhan-revan
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, 
Uang dinar dan dirham memang perlu sekali untuk dikembalikan fungsinya, mengingat bahaya dan kerugian kalau kita masih saja bertahan dengan uang kertas buatan sistem yahudi itu.
Namun tentu saja caranya bukan dengan main haramkan begitu saja, tanpa memberikan wawasan sebagai pondasi dasarnya. Selain itu kita juga butuh SDM, dan juga kekuatan jaringan serta akhirnya kekuatan penguasaa pada sitem negara itu sendiri.
Sekedar fatwa haram, rasanya kok malah kurang produktif, sebab akar masalahnya malah lepas dari sasaran. Tugas kita sekarang justru menjelaskan dulu akar masalahnya kepada umat, baru setelah itu diteruskan dengan tindakan nyata, yang pada akhirnya, pada titik tertentu, tidak perlu lagi difatwakan haram, toh orang akan sadar sendiri.
Lagian kalau dinar dan dirham memang sudah menjadi sistem keuangan di suatu negara, maka otomatis semua yang ada di negara itu -mau tidak mau- akan memakainya.
Dinar dan Dirham
Sebenarnya dinar dan dirham bukan secara tepat bisa dikatakan sebagai mata uang Islam. Yang lebih tepat kita katakan adalah bahwa dinar dan dirham adalah alat tukar yang dikenal umat manusia, jauh sebelum risalah Islam diturunkan di jazirah Arabia.
Dinar dipakai oleh peradaban Romawi. Bentuknya emas betulan berupa coin, bukan uang kertas seperti zaman sekarang. Nilainya ditentukan oleh beratnya secara pisik, yaitu berat sebuah logam yang bernama emas.
Sedangkan dinar yang kita kenal sekarang ini, cuma namanya saja dinar, tapi sebenarnya dinar itu cuma kertas yang dicetak pakai mesin cetak. Nilainya tidak ada, kecuali sebuah negara mengatakan bahwa nilainya sekian. Kalau kita sudah keluar dari wilayah negara itu, maka kertas cetakan itu menjadi tidak ada harganya.
Sedangkan dirham banyak dipakai oleh bangsa Persia, terbuat dari perak berbentuk coin juga. Nilainya tentu juga diukur dari beratnya, bukan berdasarkan tulisan yang tertera di coin itu. Dibandingkan dinar, dirham tentu lebih murah. Terang saja, di mana-mana yang namanya perakpasti lebih murah dari emas.
Kalau kita perhatikan dalam kitab fiqih, bangsa Arab ternyata menggunakan keduanya. Dalam hal ini memang keduanya bisa berlaku secara universal, karena semua peradaban manusia mengenal emas dan perak sebagai logam mulia.
Apalagi bangsa Arab terkenal sebagai bangsa pengembara yang berdagang sepanjang tahun, tidak kenal musim dingin atau musim panas. Kadang mereka berdagang ke utara (Syam) kadang mereka berdagang ke selatan (Yaman).
Banyak riwayat menyebutkan bahwa nilai dinar dibandingkan dengan dirham adalah 1:10, tapi ada juga yang menyebutkan 1:12. Mungkin nilai tukar keduanya bersifat fluktuatif juga.
Mata Uang Islam
Bangsa Arab sendiri mulai menggunakan coin emas buatan mereka sendiri baru pada tahun 77 hijriyah, yaitu setelah Islam menyebar dan berpindah pusat peradabannya ke Damaskus. Masa itu adalah masa kekhilafahan Bani Umayah.
Yang menarik, semua coin emas itu tidak pernah dinilai dari apa yang tertulis pada sisinya. Semua hanya dinilai dari beratnya. Sehingga pada hakikatnya, coin itu tetap berlaku di mana saja.
Ukuran Nilai Dinar
Dalam fiqih Islam kontemporer, nilai dinar ini pada akhirnya menjadi penting, karena beberapa masalah hukum sangat bergantung pada nilai dinar ini. Misalnya untuk mengukur nishab zakat, yang disebut-sebut dalam masalah zakat adalah 20 dinar.
Rasulullah SAW pernah bersabda tentang batasan minimal nilai uang yang dimiliki oleh seseorang sehingga dirinya berkewajiban untuk mengeluarkan zakat.
Dari Umar bin Al-Khattab dan Aisyah radhiyallahu 'anha bahwa Rasulullah SAW mengambil dari tiap 20 dinar ke atas sebesar 1/2 dinar (sebagai zakat). Dan beliau mengambil dari tiap 40 dinar beliau mengambil 1 dinar (sebagai zakat). (HR Ibnu Majah)
Masalah yang muncul di zaman sekarang ini adalah: 20 dinar itu pada hari ini berapa nilainya?
Setelah mengalami begitu banyak perbedaan pendapat, karena masalah konversi yang selalu berbeda dari tiap negeri, akhirnya mereka sepakat utnuk merujuk kepada wujud pisik coin itu, yang tentunya sekarang ini sudah jarang didapat.
Satunya-satunya tempat di mana kita bisa menemukannya adalah hanya di museum peninggalan zaman dahulu. Alhamdullillah, ternyata masih ada sebuah mata uang dinar yang berasal dari zaman Abbul Malik bin Marwan. Setelah ditimbang, ternyata 1 dinar itu beratnya 4, 25 gram. Akhirnya para ulama sepakat di masa kita sekarang ini tentang berat nilai 1 dirham itu.
Maka kalau batas nishab itu 20 dinar, berarti nilainya sama dengan 20 x 4, 25 = 85 gram. Dari hasil penimbangan itulah para ulama kontemporer hari ini menetapkan batas nishab zakat emas dan uang tunai.
Uang Kertas
Entah kapan kemudian coin logam emas dan perak itu tidak lagi digunakan secara langsung sebagai alat tukar. Diganti dengan selembar kertas yang disahkan oleh pemerintah sebagai bukti kepemilikan atas emas dan perak itu.
Awalnya sistem seperti ini memang baik, karena kertas-kertas itu meski tidak ada harganya, namun diterbitkan secara resmi oleh negara. Dan negara menjamin bahwa emas dan perak yang diwakili oleh kertas-kertas itu memang ada.
Masyarakat kemudian menggunakan kertas-kertas cetakan itu yang secara pisik tidak punya nilai apa-apa. Tanpa jaminan dari pemerintah, tentu nilainya sama saja dengan uang kertas palsu hasil bikinan tukang sablon.
Sayangnya, ada orang-orang yahudi yang kemudian melakukan keculasan sejarah. Entah bagaimana caranya, mereka kemudian menguasai perbankan, lalu mulai mencetak kertas-kertas tidak bernilai itu, tanpa memperhatikan lagi apakah jumlah emas dan perak itu sebanding dengan jumlah kertas cetakan atau tidak. Konon perbandingan antara nilai emas dan jumlah kertas cetakan tak berharga itu sampai ke level 1 banding 9.
Jadi pada hakikatnya pelopor uang kertas palsu bukan siapa-siapa, tetapi pihak bank sendiri. Dalam hal ini bank sentral yang ada di suatu negara. Sistem perbankan ala yahudi inilah yang kemudian menjadi mata bisul penyakit inflasi di seluruh dunia.
Maka pada hakikatnya bila seseorang punya banyak uang, sebenarnya hanyalah ilusi, karena uang kertas kita hanyalah kertas yang dijamin oleh pemerintah.Tidak ada jaminan bahwa uang kita akan diganti oleh emas sesuai dengan pengertian kita saat ini.
Dan uang kertas dolar tidak akan bisa ditukar dengan emas oleh pemilik dolar yaitu amerika. Bahkan konyolnya, ternyata pihak yang menerbitkan kertas dolar itu hanya sebuah perusahaan swasta yang bernama The Fed (federal reserve), jadi bukan pemerintah Amerika.
Kertas-kertas 'palsu' itu kemudian diedarkan di oleh bank dalam bentuk pinjaman, tentu saja plus bunga. Namanya juga bank kafir yahudi.Maka bunga atau interest itulah yang nantinya akan menjadi pilar setan.
Pada awalnya sangat aneh orang meminjam uang kemudian mendapat charge dalam bentuk bunga. Namun karena semakin biasanya manusia dengan bunga dan menganggap bahwa bunga adalah sesuatu yang wajar maka manusia menganggap bunga adalah sesuatu hal yang biasa. Dari bunga itulah bisa dikatakan bank kembali menciptakan uang yang beredar di masyrakat.
Karena banyaknya uang yang beredar di masyakarat jauh lebih banyak dengan banyaknya output riil yang dihasilkan oleh sistem produksi, maka munculah apa yang disebut inflasi. Harga semakin naik. Di sisi lain manusia yang terlilit dengan utang dan kebutuhan yang semakin tinggi semakin keras bekerja, mereka semakin menganggap bahwa time is dollar, padahal output produksi riil itu ada batasnya.
Siapa Yang Menciptakan Uang Kertas dan Memainkan Permainan Uang?
Yahudi dan negara 'jajahannya' seperti Amerika adalahobjek yangbisa kita tunjuk sebagai pihak yang bertanggung-jawan membangun sistem ekonomi global seperti sekarang.
Dengan segala tipu daya dan trik licik, meneruskan penjajahan ala kolonialis konvensional, merekabisa membeli sumber daya alam negara kita dan negara dunia ketiga lainnya hanya bermodal selembar kertas cek. Atau denganhutang negara yang sebenarnya juga cek kosong alias cek yang tidak diback-up sama sekali dengan uang baik kertas atau koin emas.
Tapi karena pejabat di negara-negara ini adalah korban Al-Ghazwul Fikri yang akut, belajar ekonomi dari pada yahudi itu juga, maka otak mereka nyaris tidak mampu memahami hakikat ini. Otak mereka sudah lumpuh kalau diminta menyadari tipu daya dan kolonialisme financial modern.
Ibarat komputer jadul 386, ketika diinstall dengan Windows Vista, akan bengong alias hang. Maka otak para pejabat negara itu harus diupgrade, atau diganti sekalian pejabat itu dengan yang berprocessor dual core duo. Memori yang cuma 32 MB itu sudah usang, harus diganti dengan 10 Gb. Hardisknya juga harus diganti dengan kapasitas 2 terra.
Sayangnya, sampai hari gini masih ada saja orang yang belajar ekonomi ke Barat, ke sumber penyakitnya. Dan lucunya, meski mengaku reformis, ternyata pemerintahan negara ini masih saja menggunakan para pejabat dengan otak zaman bahuela. Yah, sampai Imam Mahdi turun pun, kita akan tetap begini-begini saja, tidak akan maju-maju.
Ibarat Megawati bilang, kita ibarat main poco-poco, maju dua langkah lalu mundur dua langkah. Atau ibarat penari sufi darwis, cuma muter-muter di tempat, maju nggak pusing iya.
Yang Bisa Kita Lakukan
Yang bisa kita lakukan sekarang ini tentu harus urut dan runtut. Jangan memulai membangun rumah dari mengecat tembok. Tidak akan ada gunanya. Jangan seperti sebagian teman kita yang maunya bikinrumah bertingkat, tapi setiap kali ada orang mau memulai kerja menggali tanah untuk menanam pondasi, dia teriak-teriak bahwa yang harus dikerjakan adalah membangun rumah, bukan bikin pondasi.Lho iki kepiye to?
Saat ini yang perlu kita lakukan adalah mensosialisasikan wawasan dan informasi yang kami bahas di atas. Ada banyak buku yang bisa dimanfaatkan, salah satunya buku pak Riawan Amin, The Satanic Finance. Dan insya Allah Eramuslim Digest juga akan membahasnya nanti secara lebih spsifik dan komplit.
Kita bisa membahasnya dalam banyak forum seperti majelis taklim, diskusi, pengajian, seminar, milist, dan beragam ruang untuk menguatkan wawasan dan kesadaran umat akan bentuk kolonialisme modern lewat jalur sistem keuangan dan finance.
Langkah kedua, kita wajib membangun kampus yang secara lebih khusus memberikan mata kuliah yang terkait dengan ilmu ini. Sebab kita buuh ekspert, buat sekedar wacana belaka. Kita butuhratusan doktor di bidang Islamic finance yang intinya bisa membangun sistem keuangan sendiri buat umat Islam. Mungkin prosesnya butuh 20 s/d 30 tahun ke depan, mulaisejak kuliah perdana.
Langkah berikutnya, kita jadi punya bargaining position yang lebih baik, karena kita punya SDM yang cerdas dan ekspert. Kepada penguasa negeri ini, kita tawarkan apakah mau terus dilibasoleh sistem yahudi, ataukah mau bergerak bangkitmelawan gurita raksasa?
Tentu saja, kita tidak mungkin menghadapi si gurita ini sendirian, maka proses Islamisasi dan penyiapan SDM iniharus berlangsung secara paralel dengan negara Islam yang lain. Lihatlah Eropa, mereka yang sejak zaman nenek moyang selalu terlibat perang saudara, sekarang bisa membuat blok tersendiri sebagai resistensi terhadap dominasi dolar Amerika. Hasilnya, mereka punya mata uang Euro.
Bagaimana dengan Islam? Apakah kita mulai dari mengecat tembok atau menggali tanah menanam pondasi? Sesekali merenung untuk berpikir kan boleh.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, 
Ahmad Sarwat, Lc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar