Senin, 29 Juni 2009

pemikiran 6

 ________________________________________
MUNGKIN telah lenyap dari benaknya, beberapa tahun silam, usai membeli durian dan mengambil teropong, kami menuju tanjakan Tarahan. Di bukit yang puncaknya telah digerus hingga landai itu, kami hendak menghabiskan senja.
Wajahnya riang setiba di tujuan. Dia mengaku baru kali itu menginjakkan kaki di sana. Cuaca ramah. Angin sepoi. Matahari tak congkak. Laut biru dan bukit hijau terhidang di depan mata. Kami menerka-nerka sekian tahun lagi akan jadi apa tempat dengan panorama seindah itu. Hotel, rumah makan, pabrik, atau kuburan? Entahlah. Terakhir kali melewati tanjakan Tarahan, tak ada yang berubah di sana. Puncak bukit itu masih landai seperti menunggu orang-orang yang ingin sejenak melipur jenuh pada kota yang riuh dan kumuh.
Dia tegak di tepi jurang sambil menggengam teropong. Tak peduli pada tebing curam dan batu-batu tajam di bawah sana yang gelisah menunggu tubuhnya tergelincir. Rambutnya menari gemulai dibelai angin. Dia pekikkan semua yang diintipnya lewat teropong. Perahu nelayan membelah ombak, bagan-bagan terpasung di laut, rimbun nyiur di tepi pantai, sawah menghampar bak beludru hijau, sepasang bocah mengendap-endap hendak menangkap capung, lelaki ringkih bertelanjang dada menuntun kerbaunya pulang ke kandang, dan ibu tua menampi beras di samping rumah berdinding geribik.
Aku sudah tak sabar ingin membelah durian. Dia tak keberatan. Maka kami saling merapat dan saling mencicipi. Sesekali kulirik parasnya ketika menikmati buah itu. Mengingatkanku pada sesuatu.
Sebingkai senja, geletar sunyi, dan desah angin bersekutu menghasut naluri kami. Pipinya bersemu saat aku mengaku baru kali itu mencicipi bibir rasa durian. Matanya kian temaram. Dan aku terkejut memergoki pemandangan di balik kaus ketatnya: tato mawar merah beberapa senti saja di atas pusarnya. Itu tato permanen, desisnya. Dibuat di sebuah tempat tato terkenal di Pulau Dewata.
Aku sempat tertegun menatap gambar unik itu. Apa alasan menato tubuhnya? Kenapa mawar, bukan gambar lain? Kenapa hitam, bukan warna lain? Kenapa pusar, bukan bagian tubuh yang lain? Bah, tentu saja tak kuajukan pertanyaan-pertanyaan tolol macam itu. Cuma buang waktu. Di depan mataku saat itu ada perempuan yang menunggu dan aku diburu waktu.
Sepanjang jalan pulang, dia terus memutar ulang tembang "I Will Remember You". Suaranya lirih mengiringi Sarah McLachan. Aku merasa jengah dan serbasalah. Sempat dia mengajakku bertaruh. Jika aku teringat dirinya, pasti akan ingat pula pada tato itu. Demikan juga sebaliknya. Sebelum berpisah, dia mengajakku ke bukit itu lagi satu saat nanti. Aku tak suka menyemai rencana. Aku tak pandai menerka perangai waktu. Kupikir melakukan hal-hal spontan bisa membuat hidup lebih berwarna. Seperti halnya tato mawar merah yang menggeliat di kulit sewarna gading itu.
Apa yang membuat pertemuan jadi indah dan penuh makna? Jawabnya: perpisahan. Entah di mana dia kini berada. Sudah lama kami tak bersua. Aku pun seperti kehabisan nyali untuk menelepon atau mengirim pesan sekadar bertanya kabar. Lantas, ketika kudapat secuil berita bahwa dia sudah menikah dan merahasiakan rambutnya, terngiang kembali di benakku masa-masa ketika setiap hari adalah penantian tentang apakah dia atau bukan sama sekali yang kucari.
Begitulah. Setiap melewati tanjakan Tarahan, ketika tubuh terguncang-guncang oleh jalan bergelombang dan penuh lubang, selalu ada sesuatu yang menepuk batinku pelan. Mengimbauku agar menoleh sejenak ke puncak bukit yang landai itu. Mengenang seorang wanita dengan tato mawar merahdekat pusarnya.
Meski ragu, aku berharap suaminya adalah lelaki terakhir yang melihat tato itu.***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar