Kopi panas terhidang cepat di hadapanku. Uapnya mengepul menghantam hidungku. Panas, tapi harum. Kusambar sepotong bakwan dari piring tak jauh dariku. Pancaran petromaks semakin samar. Tidak biasanya warung kopi ini begini sepi. Hanya ada aku dan seorang laki-laki berwajah lelah yang masih tekun menyantap indomie rebusnya.
Alunan suara Iis Dahlia terdengar lamat-lamat dari radio tua sang empunya warung kopi. Lirik-lirik sendu menghujat cinta itu kudengar dengan sabar. Begitu pahitkah cinta? Kuseruput kopi panas itu perlahan. Aromanya menusuk hidung. Masih panas.
Angin menghembus pelan. Dingin. Kurapatkan kemeja flanel tebalku. Beberapa malam ini memang dingin sekali. Hujan datang tak pernah permisi. Kunyalakan rokok untuk mengusir dingin. Angin masih saja berhembus pelan tapi dingin. Bapak tua sang empunya warung memompa petromaks yang sinarnya semakin temaram. Sebentar kemudian petromaks itu langsung menyala terang sekali. Aku memicingkan mata tidak siap menerima sinar petromaks. Tapi toh lampu petromaks itu cukup membuat warung kopi ini agak hangat.
Kulihat jam di dinding warkop. Setengah sebelas. Sudah setengah jam aku disini. Dia belum datang juga. Tanpa sadar aku sudah menghabiskan tiga batang rokok. Kemana dia? Kucoba buang waktu mendengarkan lirik-lirik kepasrahan luar biasa dari radio tua itu. Cinta masih sangat pahit.
Kudengar suara tawa dari kejauhan. Makin lama makin dekat. Ramai sekali. Tak lama muncullah dia dari gelap jalan setapak di dekat warkop itu, bersama tiga orang yang lain.
Senyumku mengembang. Dia langsung menghampiriku dan memelukku dari belakang. Manja. "Udah lama ya, Bang?" tanyanya dengan suara manja yang sangat dibuat-buat, tapi aku suka. Aku hanya mengangguk sambil mengecup lengannya yang melingkar di pundakku. "Maaf ya, Bang. Habis si Umar pakai acara ke rumah ceweknya dulu sebentar," ujarnya langsung memberikan argumentasi. Aku hanya bisa tersenyum lagi. Tak masalah untuk aku sebenarnya. Tiga orang yang lainnya menyapaku ramah dan langsung mengambil tempat berjajar denganku lalu memesan kopi dan teh hangat.
Dia duduk di sampingku. Tangannya tidak pernah lepas dari pundakku. Sejenak kemudian warkop ini langsung ramai oleh tawa empat orang itu. Entah apa saja yang diobrolkan. Yang jelas seru sekali. Dan sekarang aku tidak kedinginan lagi. Dia merapatkan duduknya ke badanku. Dipeluknya aku erat-erat, hangat. Suara radio mendadak makin keras. Dia menggoyangkan tubuhnya
mengikuti alunan lagu. Kali ini tak ada lirik menghujat cinta. Ternyata cinta tidak selalu pahit.
Kutatap wajah di sebelahku ini. Kelihatan sekali bedaknya yang tebal, gincu merah menyala yang aku yakin dipulas berkali-kali, eye shadow mengkilat di matanya, alis yang dilukis ulang serupa rembulan. Harum badannya menyengat hidungku, mengalahkan aroma kopi panas di sekitar warkop. Sesekali ia juga menatapku malu-malu, lalu tertawa genit sambil mencubit pinggangku. "Ngapain sih lihat-lihat? Naksir ya?" tanyanya manja. Aku mengangguk cepat kalau ia bertanya seperti itu. Kemudian tawanya berderai dari bibir merahnya. Ramai. Ribuan cubitan lainnya langsung mendarat di badanku. Aku terbang.
Kupeluk dia erat-erat selama perjalanan pulang. Tiga temannya tadi memisahkan diri. Jalan gelap itu membuatku semakin mempererat pelukan. Aroma tubuhnya menempel di badanku. Tapi tak apa, aku belom mandi sore tadi. Sampai di pertigaan jalan yang sepi, ia mengajak berhenti. Dia bilang capek. Aku tak percaya sebenarnya, toh kami belum berjalan jauh. Tapi aku turuti saja, tidak ada ruginya. Hari juga belum berganti.
Ia mengajakku duduk di bawah pohon tak jauh dari pinggir jalan. Dia langsung memelukku erat sesampainya disana. Aku tidak berpura-pura bodoh. Kuciumi wajahnya, lalu bibirnya. Gincunya belepotan di bibirku. Dia membantuku menghapus gincu merah di bibirku dengan tissue yang dibawanya. Lalu kami berciuman lagi. Tanganku tak pernah berhenti meraba tubuhnya, mengusap rambutnya. Sesekali kuremas buah dadanya yang montok itu. Ia hanya bisa merintih pelan. Betapa aku senang mendengar rintihannya. Angin membawanya berlari. Alunan lirik-lirik yang menghujat cinta masih terngiang di telingaku. Cinta memang tidak selalu pahit.
Bulan berdarah masih menggantung di sana. Kupejamkan mataku dengan paksa. Tapi kelebat di bawah pohon itu masih terus melintas di otakku. Hari ini memang menyebalkan. Tadi siang aku bertemu lagi dengannya. Dia menungguku di depan gerbang kampus. Riasan tebal di wajahnya tidak bisa menyembunyikan luka. Masih terbayang lebam biru di dekat sudut matanya. Dia hanya menangis ketika aku tanya mengapa. Aku tidak menghiraukan tatapan aneh teman-temanku yang melihat aku memeluknya. Dia menangis di dadaku.
"Bapak tahu tentang kita, Bang." Kata-katanya tersendat-sendat dibalik tangisannya. Aku hanya bisa membisu. "Kata Bapak, aku nggak boleh lagi berani
ketemu Abang." Dia menangis terus di pelukanku. "Kata Bapak, aku nggak pantas buat Abang." Aku bisa rasakan gemuruh di dadaku. Entah apa. Dan gemuruh itu makin menjadi ketika sepasang mata mengawasi dari kejauhan. Aku mengenali mata itu. Mata seorang gadis di masa lalu. Aku tak bisa menahan gemuruh itu. Aku ajak dia pulang.
"Teganya kamu, Yo. Aku nggak pernah menyangka kamu bisa begini. Kurang apa sih aku, Yo? Apa sih yang dia lakukan terhadap kamu sampai kamu bisa seperti ini? Apa, Yo? Kamu dipelet ya?" Dan sebuah tamparan selanjutnya mendarat di mukaku ketika aku jawab kalau aku mencintainya.
"Nemu di mana tuh, Yo?" sebuah pertanyaan hinggap padaku suatu hari dari seorang teman. Aku hanya menjawab dengan senyum. Dan aku hanya bisa menerima tampang-tampang heran mereka.
"Sorry ya, Yo. Tapi kok selera lu tambah parah sih sekarang?"
"Serius tuh, Yo? Itu cewek lu yang baru?"
"Hmm...gimana ya, Yo. Gue nggak tega ngomongnya, tapi ini harus gue bilang juga sama elu. Cewek baru lu kampungan banget sih, Yo? Sorry banget deh kalau gue ngomong begini. Gue cuman mau jujur aja sama lu. Kan lu minta pendapat gue."
Bulan berdarah mulai meleleh. Mataku masih saja tidak bisa terpejam. Semuanya berkelebat cepat. Gemuruh masih ada di dadaku. Tangisan gadisku masih jelas di kepalaku. Gadisku memang kampungan. Dandanannya yang tebal sebenarnya membuat kepalaku pusing waktu pertama kali aku berjumpa dengannya. Derai tawanya yang terlalu ramai dan suara manjanya yang terlalu dibuat-buat. Dia memang jauh berbeda dengan Siska, gadisku yang dulu. Siska yang cerdas, cantik alami tanpa perlu make-up, dan cenderung pendiam tak banyak bicara. Entah mengapa aku berpaling darinya.
Gadisku yang kampungan itu...ah...entah mengapa aku tertarik padanya. Sejak bertemu di warkop dekat rumahku. Lirikannya, senyuman genitnya, perhatiannya. Dan tak ada yang lebih hebat dari ciumannya, rintihannya dan gerakan tubuhnya. Alunan suaranya saat menyanyikan lirik-lirik yang menghujat cinta bisa membuatku terdiam tanpa bisa berbuat apa-apa selain menatap matanya dengan eye shadow mengkilat itu.
Gadisku yang kampungan, yang memujaku seperti pangeran yang jatuh dari bulan. Gadisku yang kampungan, yang sedang berbaring di sampingku dengan tubuhnya yang telanjang, tertidur lelap. Kutatap wajahnya yang polos, tanpa make-up. Dan aku membodohi diriku sendiri ketika aku ingat kalau aku tidak pernah mengatakan padanya kalau aku mencintainya. Kupeluk tubuhnya erat-erat. Kuusap perutnya lembut, tempat benih cintaku dan cintanya sedang bertumbuh. Gadisku memang kampungan, tapi apa bedanya kalau ia mencintaiku?
Senin, 29 Juni 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar