Fikih Sumber Daya Alam
Oleh Agustianto
Tak bisa dibantah, bahwa kekayaan alam Indonesia sangat melimpah ruah, karena itu pantaslah jika Indonesia sering disebut sebagai negara kaya raya. Potensi kekayaan alam Indonesia antara lain, kekayaan hutan, lautan, BBM, emas dan barang-barang tambang lainnya.
Kawasan hutan Indonesia termasuk yang paling luas di dunia, tanahnya subur, dan alamnya indah. Menurut laporan Walhi yang diterbitkan tahun 1993, rata-rata hasil hutan di Indonesia setiap tahunnya ketika itu adalah 2,5 miliar dolar. Kini diperkirakan mencapai sekitar 7-8 miliar dolar AS.
Kekayaan minyak Indonesia juga sangat banyak. Menurut catatan Waspada (12-11-2005), Indonesia memiliki 60 ladang minyak (basins), 38 di antaranya telah dieksplorasi, dengan cadangan sekitar 77 miliar barel minyak dan 332 triliun kaki kubik (TCF) gas. Kapasitas produksinya hingga tahun 2000 baru sekitar 0,48 miliar barrel minyak dan 2,26 triliun TCF. Ini menunjukkan bahwa volume dan kapasitas BBM sebenarnya cukup besar dan jelas sangat mampu mencukupi kebutuhan rakyat di dalam negeri.
Indonesia juga adalah negeri yang memiliki potensi kekayaan laut luar biasa. Potensi produksi perikanan budidayanya terbesar di dunia yakni sekitar 57,7 juta ton per tahun, dan baru berhasil diproduksi sebesar 0,6 juta ton pada tahun 1998 dan 1,6 juta ton pada tahun 2003. Wilayah perairannya sangat luas, belum lagi kandungan mutiara, minyak, dan kandungan mineral lainnya, serta keindahan alam bawah lautan.
Sebagai negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki perairan laut, yang sesuai (potensial) untuk usaha budidaya laut terluas di dunia (FAO, 2002). Berdasarkan pada perhitungan sekitar 5 km dari garis pantai ke arah laut, potensi luas perairan laut Indonesia yang sesuai untuk kegiatan mariculture diperkirakan 24,5 juta ha. Luasan potensi kegiatan budidaya laut tersebut terbentang dari ujung barat sampai ke ujung timur wilayah Indonesia (Ismail Yusanto, 2004).
Dari potensi ikan saja, menurut Menteri Kelautan dan Perikanan, bisa didapat devisa lebih dari 8 miliar dolar AS setiap tahunnya. Sementara itu, di daratan terdapat berbagai bentuk barang tambang berupa emas, nikel, timah, tembaga, batubara, dan sebagainya. Di bawah perut bumi sendiri tersimpan gas dan minyak cukup besar.
Dalam bidang pertambangan, Indonesia juga dikenal sebagai negara kaya. Tahun 1967, PT Freeport Indonesia (FI) memulai Kontrak Karya generasi (KK I) untuk konsesi selama 30 tahun. Pada tahun 1988, secara tak terduga, FI menemukan deposit emas yang sangat besar di Grasberg, diperkirakan mencapai 72 juta ton.
Dengan demikian, kandungan emas di bumi Papua yang kini dikelola PT Freeport Indonesia, termasuk yang terbesar di dunia. Tidak aneh bila McMoran Gold and Coper, induk dari PT Freeport, berani menanamkan investasi yang sangat besar untuk mengeruk emas dari bumi Papua itu sebanyak-sebanyaknya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Ironi Kemiskinan
Akan tetapi, semua orang juga tahu, kini Indonesia menjadi negara miskin. Pendapatan kotor nasional (GNP) perkapitanya hanya sedikit lebih besar dari Zimbabme, sebuah negara miskin di Afrika. Kekayaan Indonesia lebih banyak tergadai ke pihak asing, seperti minyak hampir 90% didominasi pihak asing. Emas di Freeport, Indosat, BCA, Danamon, sebagian Perkebunan, juga tergadai ke pihak asing.
Utang negara luar biasa besar, lebih dari Rp 1.200an triliun. Pertanyaannya, siapa yang harus menanggung beban utang yang demikian besar itu ? Tidak lain, tentu saja adalah rakyat Indonesia sendiri. Hal ini tampak pada pos penerimaan dalam APBN dari sektor pajak yang mencapai sekitar 70 persen.
Sementara itu, dalam bidang perminyakan, hampir semua sumur minyak di Indonesia telah dikuasai oleh perusahaan raksasa minyak asing yang merupakan perusahaan multinasional seperti Exxon (melalui Caltex, Atlantic Richfieldd (melalui Arco Indonesia), dan Mobil Oil. Selebihnya, Pertamina yang memproduksi. Dalam skala lebih kecil, belakangan muncul pengusaha-pengusaha swasta nasional yang ikut terjun dalam bisnis minyak bumi seperti Arifin Panigoro dengan Medco-nya. Tommy Soeharto dengan Humpuss-nya, Ibrahim Risjad, Srikandi Hakim, dan Astra International. (SWA, April-Mei, 1996).
Sebagaimana disebut di atas, bahwa rata-rata hasil hutan di Indonesia setiap tahunnya adalah 2,5 miliar AS dan kini diperkirakan mencapai sekitar 7-8 miliar dolar AS. Dari hasil sejumlah itu, yang masuk ke dalam kas negara hanya 17 persen, sedangkan sisanya yaitu sebesar 83 persen masuk ke kantong pengusaha HPH (Sembiring, 1994).
PT Inhutani, BUMN di bawah pengelolaan teknis Dephutbun pernah meneliti bahwa eksploitasi hutan melalui pola HPH ternyata telah menimbulkan kerusakan lebih dari 50 juta hektare. Kini areal kerusakan hutan mencapai luas 56,98 juta hektare. Untuk merehabilitasinya, Indonesia memerlukan dana Rp 225 triliun. Sementara itu, dana reboisasi (DR) di APBN hanya dianggarkan Rp 7 triliun saja.
Itu pun masih akan bertambah karena kerusakan hutan di Indonesia kini diperkirakan mencapai 1,6 juta hektar per tahun. Menurut data Bank Dunia, jika kondisi ini terus berlangsung, hutan di Sumatera akan segera punah sedangkan hutan di Kalimantan akan punah pada tahun 2010. (Ismail Yusanto, 2004).
Dalam bidang pertambangan, Indonesia juga dikenal sebagai negara kaya. Tahun 1967, PT Freeport Indonesia (FI) memulai Kontrak Karya generasi I (KK I) untuk konsesi selama 30 tahun. Tetapi pada tahun 1998 pihak asing tersebut kembali mengajukan pembaruan KK untuk 30 tahun lagi. Ini disebabkan karena PT Freeport menemukan deposit emas yang sangat besar di Grasberg, diperkirakan mencapai 72 juta ton, sebuah potensi yang besar, PT Freeport mendapat Kontrak Kerja ke-5 bersama 6 perusahaan tambang lainnya. Berbeda dengan KK I, dimana produk utama FI adalah emas, tetapi pada Kontrak Kerja berikutnya, produknya meluas menjadi tembaga, tidak hanya emas.
Menurut Econit, royalti yang diberikan Freeport ke pemerintah tidak berubah, hanya 1-3,5 persen sehingga penerimaan pemerintah dari pajak, royalti, dan dividen FI hanya 479 juta dolar AS (SWA, 1997). Jumlah itu tentu masih sangat jauh dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh Freeport sekitar 1,5 miliar dolar AS (tahun 1996), yang dipotong 1 persen untuk dana pengembangan masyarakat Papua yang ketika itu sekitar 15 juta dolar AS. (Gatra, 10/1998).
Pandangan Islam
Dalam pandangan Islam, sumber daya alam yang termasuk milik umum seperti air, api, padang rumput, hutan dan barang tambang harus dikelola hanya oleh negara yang hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk barang yang murah atau subsidi untuk kebutuhan primer semisal, pangan, pendidikan, kesehatan, dan fasilitas umum.
Pandangan di atas didasarkan pada sebuah hadits Nabi SAW, "Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput gembalaan, dan api. Harga (menjual-belikannya) adalah haram". (HR. Ibn Majah). Hadits ini menunjukkan bahwa sumberdaya alam yang menjadi milik umum tidak boleh dikelola individu. SDA itu harus dikelola negara (dinasionalisasi), tidak boleh diprivatisasi.
Pandangan bahwa sumber daya alam milik umum harus dikelola oleh negara yang hasilnya diberikan kepada rakyat, juga dikemukakan oleh An-Nabhani dalam buku An-Nizham al-Iqtisad Al-Islami. Hal ini berdasarkan pada hadits riwayat Imam At-Turmudzi dari Abyadh bin Hamal.
Dalam hadits itu sebutkan bahwa Abyadh pernah meminta kepada Rasul untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul meluluskan permintaan itu, tetapi segera diingatkan oleh seorang sahabat, "Wahai Rasulullah, tahukah Anda, apa yang Anda berikan kepadaya ? Sesungguhnya Anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (ma'u al-'iddu)." Rasulullah kemudian bersabda, "Tariklah tambang tersebut dirinya."
Hadits tersebut menyamakan tambang garam yang kandungannya sangat banyak dengan air yang mengalir. Yang menjadi fokus dalam hadits tersebut tentu saja bukan "garam", melainkan tambangnya. Penarikan kembali pemberian rasul kepada Abyadh adalah 'illat (latar belakang hukum) dari larangan atas sesuatu yang menjadi milik umum termasuk dalam hal ini barang tambang yang kandungannya sangat banyak untuk dimiliki individu. Dalam hadits yang dituturkan dari Amr bin Qais lebih jelas lagi disebutkan bahwa yang dimaksud dengan garam di sini adalah tambang garam (ma'dan al-milh).
Menurut konsep kepemilikan dalam sistem ekonomi Islam, tambang yang jumlahnya sangat besar, baik yang tampak sehingga bisa didapat tanpa harus bersusah payah seperti garam, batubara, dan sebagainya ataupun tambang yang berada di dalam perut bumi yang tidak bisa diperoleh kecuali dengan usaha keras seperti tambang emas perak, besi, tembaga, timah dan sejenisnya baik berbentuk padat semisal kristal ataupun berbentuk cair, semisal minyak, termasuk milik umum. Artinya semuanya adalah tambang yang termasuk dalam pengertian hadits di atas.
Al-'Assal dan Karim (1999: 72-73), mengutip pendapat Ibn Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni, mengatakan yang intinya menjelaskan bahwa barang-barang tambang adalah milik orang banyak meskipun diperoleh dari tanah hak milik khusus. Karena itu, siapa saja yang menemukan barang tambang atau minyak bumi pada tanah miliknya tidak halal baginya untuk memilikinya dan barang tambang tersebut harus diberikan kepada negara untuk dikelola.
Pemerintah harus memanfaatkan seoptimal mungkin sumber daya alam negeri ini yang sesungguhnya sangat melimpah itu. Harus ada strategi baru dalam memanfaatkan sumber daya itu. Namun demikian, strategi apa pun tidak akan dapat berjalan jika tetap berada dalam kontrol undang-undang dan peraturan yang bersumber dari sistem kapitalisme sekular seperti sekarang ini.
Undang-undang tentang Pengelolaan Migas tahun 2001 misalnya, dengan jelas membolehkan pihak swasta asing atau individu untuk mengelola minyak Indonesia dan dengan leluasa membisniskannya. Konon Undang-undang tersebut mulus prosesnya, karena pihak asing menaburi para anggota legislatif saat itu dengan dollar yang melimpah.
Terbukanya peluang untuk pihak asing bermain bisnis minyak di Indonesia sebenarnya bertentangan dengan nilai-nilai syariah, karena bertentangan dengan kesejahteraan dan kemaslahatan rakyat umum. Akibat dari liberalisasi minyak tersebut, maka Indonesia terpaksa membeli minyak hasil bumi Indonesia kepada asing dengan harga Internasional. Itulah yang memaksa harga minyak (BBM) makin tinggi di Indonesia, yang pada gilirannya menyengsarakan rakyat Indonesia, karena inflasi semakin hebat, khususnya kebutuhan pokok. Dana kompensasi tak punya makna sedikitpun. Rakyat lebih suka memilih BBM tidak naik, daripada menerima dana kompensasi BBM.
Sudah saatnya, pengelolaan sumber daya alam diatur dengan undang-undanga dan peraturan yang bersumber dari syariat Allah. Zat Yang Mahatahu atas segala sesuatu, yang pasti jauh lebih mengetahui apa yang terbaik bagi manusia. Karena itu, marilah kita renungkan kembali ayat berikut :
Apakah (sistem) hukum jahiliyah yang mereka kehendaki. (Sistem) hukum siapakah yang lebih baik dari pada (sistem) hukum Allah bagi orang-orang yang yakin ? (QS Al-Maidah [5]: 50). Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa ayng mengikut petunkuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta". (QS. Thaha [20] 123-124). Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (QS. An-Nur [24]: 63).
Sistem yang baik hanya lahir dari Dzat yang Maha Baik. Dan pemimpin yang baik adalah yang mau tunduk pada sistem yang baik tadi dan memimpin yang penuh amanah dan memiliki sense of cricis yang merasakan penderitaan rakyat. Jika para pemimpin (eksekutif dan legislatif) mau tunduk pada syariah, kemiskinan rakyat akan teratasi secara signifikan.
by;yanto
Minggu, 28 Juni 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar