Minggu, 28 Juni 2009

Bahasa ABG dalam Cerpen Remaja: Implikasi Pengajarannya bagi Siswa/i Sekolah Menegah di Australia 

NYOMAN RIASA
 IALF BALI
 
Latar Belakang 
Bahasa Indonesia yang digunakan di kalangan anak remaja (yang lebih dikenal dengan istilah ABG alias Anak Baru Gede) Indonesia saat ini sangat berbeda dengan bahasa Indonesia yang ‘baik dan benar’. Salah satu syarat bahasa yang baik dan benar adalah “pemakaian bahasa yang yang mengikuti kaidah yang dibakukan atau dianggap baku” atau “pemanfaatan ragam yang tepat dan serasi menurut golongan penutur dan jenis pemakaian bahasa “(Moeliono ed., 1991: 19; Badudu, 1989). Bahasa ABG cenderung memilih ragam santai (Lumintaintang, 2000: 249) sehingga tidak terlalu baku (kaku). Ketidakbakuan tersebut tercermin dalam kosa kata, struktur kalimat dan intonasi. Dalam pilihan kata kita melihat bahwa ‘bilang’ digunakan untuk mengganti kata ‘berkata’, ‘dengerin’ untuk ‘mendengarkan’ serta banyak penggunaan kata dasar seperti ‘baca’, ‘belanja’, ‘beli’, dan ‘bawa’. Untuk menghindari pembentukan kata dengan afiksasi, bahasa ABG menggunakan proses nasalisasi yang diiringi dengan penambahan akhiran –in seperti ‘memperpanjang’ menjadi ‘manjangin’ (panjang manjang + in manjangin).  
Ranah bahasa Indonesia semacam ini merupakan bahasa sehari-hari penduduk Jakarta yang sangat kosmopolitan. Oleh karena itu banyak kalangan yang menyebutnya ragam santai dialek Jakarta (Badudu, 1996: 118). Penggunaan ranah bahasa ABG di Daerah (luar DKI Jakarta) ini banyak dijumpai di kalangan anak sekolah di tingkat SLTP, SMU, dan perguruan tinggi semester bawah. Kalangan remaja di pedesaan pun tampaknya semakin banyak yang menggunakan kosa kata yang diambil dari ranah bahasa ini akibat gencarnya siaran televisi yang sebagian besar tema dan latarnya berkiblat ke Jakarta.  
Ragam Bahasa Remaja 
Ragam bahasa ABG memiliki ciri khusus, singkat, lincah dan kreatif. Kata-kata yang digunakan cenderung pendek, sementara kata yang agak panjang akan diperpendek melalui proses morfologi atau menggantinya dengan kata yang lebih pendek seperti ‘permainan  mainan, pekerjaan  kerjaan. 
Kalimat-kalimat yang digunakan kebanyakan berstruktur kalimat tunggal. Bentuk-bentuk elip juga banyak digunakan untuk membuat susunan kalimat menjadi lebih pendek sehingga seringkali dijumpai kalimat-kalimat yang tidak lengkap. Dengan menggunakan struktur yang pendek, pengungkapan makna menjadi lebih cepat yang sering membuat pendengar yang bukan penutur asli bahasa Indonesia mengalami kesulitan untuk memahaminya. Dalam contoh percakapan berikut antara tokoh Vira dan Alda dalam ‘Atas Nama Cinta’ (Kawanku, 08.XXX 14-20 Agustus 2000) kita melihat bagaimana bahasa ABG ini dibuat begitu singkat tetapi sangat komunikatif. Dalam percakapan ini hanya kalimat pertama yang menggunakan pokok kalimat (subjek) sedangkan sisanya bahkan tidak menggunakan kata ganti orang (pronomina) sama sekali. 
“Kamu anak baru, ya?” 
‘Iya.” 
“Jurusan apa?” 
“Komunikasi.” 
“Pantesan cantik.” 
“Makasih.” 
“Eh, mau ini?” 
“Apa tuh? Obat, ya?” 
“Iya, kalau mau ambil aja.”
Dari contoh di atas jelas sekali bahwa susunan kalimat yang digunakan sangat berbeda dengan kaidah bahasa Indonesia baku atau bahasa yang baik dan benar (Moeliono ed., 1988: 19-20). Kosa kata bahasa remaja banyak diwarnai oleh bahasa prokem, bahasa gaul, dan istilah yang pada tahun 1970-an banyak digunakan oleh para pemakai narkoba (narkotika, obat-obatan dan zat adiktif). Hampir semua istilah yang digunakan bahasa rahasia di antara mereka yang bertujuan untuk menghindari campur tangan orang lain. Dengan semakin maraknya pemakaian narkoba kata-kata seperti ‘sakaw’ atau sakit (withdrawal symptoms), ‘putaw’ atau putih (serbuk heroin berwarna putih) kini semakin dikenal.  
Jika di Jakarta ranah bahasa ABG menjadi bahasa sehari-sehari hampir seluruh penduduk ibukota, di luar Jakarta bahasa remaja ini banyak digunakan dan dimengerti oleh kalangan remaja di perkotaan. Di Bali, misalnya, bahasa remaja banyak digunakan di Denpasar dan kota-kota lain terutama di sekolah-sekolah favorit. Hal ini disebabkan anak-anak di perkotaan memiliki akses yang lebih besar terhadap acara televisi (remaja) yang hampir seluruhnya berbasis Jakarta. Di daerah perkotaan juga terdapat kafe, mal, dan pasar swalayan.  
Belakangan ini telah diperkenalkan bahasa gaul dengan diterbitkannya Kamus Bahasa Gaul (Sahertian, 1999). Bahasa ini banyak digunakan oleh kalangan waria di Jakarta. Secara perlahan bahasa ini juga merambah kalangan remaja di daerah terutama di kota-kota besar. Kata ‘ember’ (emang benar) kini sudah berterima di antara kelompok masyarakat nonwaria. Dari segi struktur, bahasa gaul tidak jauh berbeda dengan bahasa ABG. Perbedaan utamanya terletak pada kosa kata. Aturan pembentukan kata bahasa gaul cenderung tidak konsisten sehingga untuk mempelajarinya kita harus banyak menghafal. Berikut adalah contoh percakapan dalam bahasa gaul. 
Jali-jali di Mal 
A: Akika mawar belalang spartakus nih. 
B: Emang spartakus yang lambreta napose? 
A: Sutra Rusia! 
B: Akika mawar belalang Tasmania. 
A: Tasmania kawanua yang lambada jugra sutra Rusia? 
B: Tinta … pingin gaya atitah! 
A: Sihombing loe! 
B: Tinta … soraya kayangan anjas! He … he …  
(Sahertian, 1999: 23-25)

Cerpen Remaja 
Yang dimaksud dengan cerpen ramaja dalam tulisan ini adalah cerita pendek yang diperuntukkan bagi kaum remaja. Hal ini bisa dilihat dari tokoh yang ada di dalam cerpen. Mereka biasanya anak sekolah menengah umum atau mahasiswa bawah.  
Panjang cerpen rata-rata 1½ - 2 halaman atau 1500 kata yang mungkin juga dipengaruhi juga oleh kebijakan Redaktur dalam menyediakan ruang. Di Indonesia kini terdapat lima buah majalah remaja yang cukup terkenal tetapi untuk penulisan ini saya hanya menampilkan empat saja. Tabel di bawah ini merupakan rangkuman data keempat cerpen tersebut. 
  
  
Judul Cerpen Majalah Latar
Atas Nama Cinta Kawanku Kampus di Jakarta
Kala Cinta Berpaling Anita Tempat kerja di Jakarta
Song 2 Hai Jakarta, Mataram
Sang Tokoh Gadis Sekolah di Jakarta
Bahasa dalam Cerpen 
Dalam setiap cerpen, penulis cerita menggunakan bahasa Indonesia baku dalam memberikan penjelasan kepada pembaca. Mereka sama sekali tidak menggunakan bahasa ABG. Namun ketika tokoh-tokoh yang ada di dalam cerita itu berbicara, penulis selalu menggunakan bahasa ABG seperti contoh berikut. 
… 
Di kafe Irit Legit, nama kantin yang letaknya di belakang gedung sekolah Riskie dan teman-temannnya membahas perubahan sikap Rico yang cukup signifikan ini. 
“Nggak salah denger tuh? Gile si Rico!” kata Udin terheran-heran. 
“Lagi mabok kali tu anak,” timpal Amin. 
(‘Sang Tokoh’, oleh Ardian Airlangga dalam Majalah Gadis Remaja 12-21 Desember 2000)

a. Kosa Kata  
Untuk membentuk kata kerja transitif bahasa remaja cenderung menggunakan proses nasalisasi. Mereka menghindari penggunaan awalan ‘meN-‘ yang cukup rumit. Dengan demikian, pemakai bisa menghindarkan diri dari kesulitan menentukan kombinasi ‘menN – kan’ atau ‘meN – i”. Kesulitan ini diatasi dengan proses ‘N – in’.  
Tabel berikut menunjukkan proses morfologi bahasa ABG. 
  
Proses nasalisasi Kata Kerja Aktif + in untuk membentuk KK transitif aktif 
pikir  mikirin 
ambil  ngambilin 
cari  nyariin 
tanya  nanyain 
les  ngelesin 
bawa  ngebawain 
Bentuk pasif 1: ‘di + Kata Dasar + in’ 
Bentuk pasif ini dibentuk dengan menambahkan awalan ‘di- dan akhiran ‘in pada kata dasar,  
dua  diduain 
jalan  dijalanin 
tunggu  ditungguin 
ajar  diajarin 
batal  dibatalin 
Bentuk pasif 2: ‘ke + Kata Dasar’ 
Bentuk pasif ini yang merupakan padanan bentuk pasif ‘ter’ dalam bahasa Indonesia baku.  
Contoh: 
tangkep  ketangkep 
timbang  ketimbang 
peleset  kepeleset 
timpa  ketimpa 
gaet  kegaet 
Penghilangan huruf (fonem) awal 
Contoh: 
habis  abis 
memang  emang 
sudah  udah 
saja  aja 
sama  ama 
Penghilangan huruf ‘h’ pada awal suku kata bentuk baku.  
Contoh: 
tahu  tau 
habis  abis 
lihat  liat 
hati  ati 
Pemendekan kata atau kontraksi dari dua kata yang berbeda. 
Contoh: 
terima kasih  makasih 
bagaimana  gimana 
kayak lembu  kalem 
kurang pergaulan  kuper 
Penggunaan istilah lain. 
Contoh: 
cantik  kece 
dia  doski 
sahabat  sohib 
mati  koit 
Penggantian huruf ‘a’ dengan ‘e’. 
Contoh: 
benar  bener 
cepat  cepet 
pintar  pinter 
balas  bales 
Penggantian diftong ‘au’ dengan ‘o’ dan ‘ai’ dengan ‘e’ 
Contoh: 
kalau  kalo 
sampai  sampe 
pakai  pake 
Pengindonesiaan bahasa asing (Inggris).  
Contoh: 
sorry  sori 
comment  komen 
top  ngetop 
swear  suer 
gang  geng 
Penggunaan bahasa Inggris secara utuh.

Pengenalan Bahasa ABG di dalam Kelas 
Bahasa ABG yang cenderung tidak formal atau tidak baku menurut kaidah yang ditetapkan oleh Pusat Bahasa masih menimbulkan kontroversi termasuk di kalangan pendidik di Indonesia ketika hendak diperkenalkan di dalam kelas. Masih banyak kalangan guru yang berpendapat bahwa bahasa ABG tidak beraturan dan tidak menunjukkan citra bahasa Indonesia yang ‘baik dan benar’. Oleh karena itu para guru di Indonesia tidak memperkenalkan bahasa ini di dalam kelas.  
Walaupun ranah bahasa ini tidak diperkenalkan di dalam kelas secara formal, para ABG di Indonesia dengan mudah memahaminya karena bahasa ini merupakan bahasa sehari-hari mereka. Hampir sebagian besar orang Indonesia dapat dengan mudah mempelajari bahasa ini lewat acara televisi yang lebih banyak bernuansa ABG.  
Kemudahan seperti yang diuraikan di atas tidak akan bisa diperoleh oleh siswa atau guru yang belajar bahasa Indonesia sebagai bahasa asing terutama mereka yang tinggal di luar negeri (termasuk Australia). Hal ini disebabkan karena kurangnya pajanan terhadap bahasa ini. Penyebab lain adalah tidak ada materi yang khusus membahas ranah bahasa ABG ini karena berbagai pertimbangan seperti yang telah diuraikan sebelumnya.  
Karena bahasa ABG tidak dimasukkan ke dalam kurikulum, guru bisa memperkenalkan ranah ini secara proporsional sesuai dengan alokasi waktu dan minat para siswa. Yang perlu disampaikan kepada siswa adalah bahasa ABG sangat mudah untuk dipelajari karena struktur morfologi dan kalimatnya jauh lebih sederhana dibandingkan dengan bahasa Indonesia baku. 
Akan tetapi perlu diingat bahwa setiap ranah bahasa memiliki sejumlah aturan yang membatasi pemakaiannya. Karena bahasa ini merupakan bahasa remaja yang cenderung santai, bahasa ini tentu tidak patut jika digunakan dalam situasi resmi yang melanggar ketentuan mengenai kepatutan ujaran (lihat Gunarwan, 1996: 358-363; Hymes, 1971: 278). Perlu disadari pula bahwa ranah bahasa memiliki keterbatasan yang tidak saja terkait dengan pemakaian ranah tersebut tetapi juga dengan individu pemakaiannya.  
Kesimpulan 
Sebagai ranah bahasa Indonesia, bahasa ABG perlu diajarkan terutama kepada siswa remaja yang telah menguasai bahasa Indonesia baku. Untuk itu, guru perlu menguasai bahasa ini agar bisa memilih seberapa banyak komponen ini perlu diperkenalkan kepada siswa sehingga tidak bertentangan dengan tujuan belajar bahasa Indonesia menurut kurikulum. Jika pengajaran ranah bahasa ini tidak mendapatkan restu dari kurikulum, guru perlu menemukan kiat tersendiri untuk memperkenalkannya kepada murid, terutama jika mereka akan melakukan kunjungan ke sekolah setara di Indonesia.  
Kita perlu ingat bahwa siswa harus dilatih untuk memahami bahwa suatu ranah tertentu (termasuk ranah bahasa remaja) memiliki keterbatasan dan jika kita berbicara tentang suatu ragam bahasa kita juga sebenarnya telah mulai memberikan pengakuan terhadap norma individu dan kelompok pemakainya (Wardhaugh, 1989: 6). 
  
Daftar Pustaka 
Alwasilah, A. Chaedar, MA, Ph.D. 2000. Perspektif Pendidikan Bahasa Inggris di Indonesia. Bandung, Andira. 
Azis, E. Aminuddin. 2000. ‘Usia, Jenis Kelamin, dan Masalah Kesantunan dalam Berbahasa Indonesia’ dalam A. Chaedar Alwasilah, MA, Ph.D. dan Drs. Kholid A. (ed.) Prosiding Konperensi Internasional Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing. Bandung, Andira. 
Badudu, J.S. 1989. Inilah Bahasa Indonesia yang Benar. Jakarta, PT. Gramedia. 
Badudu, J.S. 1996. ‘Pengajaran Bahasa Indonesia sebagai Penutur Asing’ dalam Ida Sundari Husen dkk. Pengajaran Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing. Depok Fakultas Sastra Universitas Indonesia. 
Gunarwan, Asim. 1996. ‘Kepatutan Ujaran di dalam Pengajaran Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Asing: Implikasinya bagi Pengajar’ dalam Ida Sundari Husen dkk. Pengajaran Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing. Depok Fakultas Sastra Universitas Indonesia. 
Hymes, Dell. 1971. ‘On Communicative Competence’ dalam Pride J.B dan Janet Holmes (ed.), Sociolinguistics. Middlesex, Penguin Books. 
Lumintaintang, Yayah B. Mugnisjah. 2000. ‘Pemilihan Ragam Bahasa bagi Pengajaran BIPA’ dalam A. Chaedar Alwasilah, MA, Ph.D. dan Drs. Kholid A. (ed.) Prosiding Konperensi Internasional Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing. Bandung, Andira. 
Moeliono, Anton M. ed. 1988. Tata Bahasa Baku Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Perum Balai Pustaka, Jakarta. 
Moeliono, Anton M., 1991. Santun Bahasa, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama. 
Sahertian, Debby. 1999. Kamus Bahasa Gaul. Jakarta, Pustaka Sinar Harapan. 
Wardhaugh, Ronald. 1989. An Introduction to Sociolinguitics. Oxford, Basil Blackwell.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar